MENJAGA MARTABAT AYAM KAMPUNG
Oleh: Awistaros A. Sakti
Oleh: Awistaros A. Sakti
(Terbit di Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan INFOVET edisi 229, Agustus 2013)
Peneliti
Bidang Pakan dan Nutrisi Ternak
LEMBAGA
ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)
Yang
disayang masyarakat Indonesia itu, ternyata berpotensi lebih besar daripada
ayam ras.
Dokumentasi pribadi
Bagaimana
tidak. Untuk mendapatkan keuntungan bersih sekitar tiga juta per bulan,
peternak hanya membutuhkan 1.000 ekor DOC ayam kampung untuk dibesarkan sebagai
ayam kampung pedaging (Krista dan Harianto, 2010). Tentu skala 1.000 ekor ini
tidak akan nampak menguntungkan, bila yang dipelihara adalah ayam broiler. Beberapa
pendapat mengemukakan bahwa profit margin dari 1.000 ekor ayam kampung pedaging
setara dengan 5.000-10.000 ayam broiler. Belum lagi jika dibandingkan dengan
usaha pembibitan. Jumlah 500 ekor betina saja bisa menghasilkan lebih dari 10
juta keuntungan bersih per bulan (Krista dan Harianto, 2010). Meskipun tentu
saja ini harus disertai dengan manajemen budidaya yang tidak sederhana.
Keunggulan
sebagai Warisan
Ayam
kampung yang menjadi plasma nutfah negaranya sendiri (Indonesia), hanya
berjumlah sekitar 25% dari total populasi ayam broiler tahun 2011 (Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2012). Tapi di lain sisi, ayam kampung
merupakan ternak terdekat yang bisa hidup berdampingan dengan masyarakat.
Mengapa demikian? Padahal kita tahu bahwa produktifitas ayam ini sangat rendah
dibanding jenis ayam komersial lainnya. Untuk mencapai bobot 1-1,1 kg saja,
dibutuhkan waktu 13-14 minggu (Trobos Livestock edisi 162/Tahun XIV), dan
dengan pemeliharaan intensif hanya mampu dihasilkan paling banter sekitar 150
butir telur per tahun. Jawabannya adalah, dibanding ayam ras, ayam kampung
lebih tahan terhadap penyakit dan cuaca tropis, mampu mencerna serat kasar lebih
tinggi dan membutuhkan protein pakan yang lebih rendah, mampu diusahakan
sebagai usaha sambilan maupun simpanan (tabungan) bagi masyarakat pedesaan, dan
mungkin jawaban paling politis adalah, karena ayam kampung dilindungi undang-undang
sebagai potensi lokal yang hanya boleh diusahakan oleh peternakan rakyat.
Kelebihan
lain dari ayam kampung adalah mempunyai segmen pasar sendiri. Daging dan telur
ayam kampung tidak perlu bersaing ketat dengan ayam ras untuk memperebutkan
pangsa pasar. Daging ayam kampung mampu bertahan dengan harga lebih tinggi
sekitar 10-20% dibanding daging broiler. Telurnya pun masih dihargai dalam
satuan butir (bukan kiloan), yang jatuhnya pun lebih tinggi 20-25%. Harga
daging dan telur ayam kampung relatif lebih stabil dibandingkan ayam ras, yang
menjadikannya lebih aman (secara hitungan bisnis) untuk dipelihara dalam skala
produksi yang tidak terlalu besar.
Dokumentasi pribadi
Mengurangi Sisi Resiko
Bagaimana
cara meningkatkan produktifitas? Budidaya secara konvensional dengan cara
diumbar bebas di pekarangan rumah tentu saja bukan menjadi pilihan yang tepat
untuk kondisi saat ini. Mutasi gen mikrobia patogen terus berkembang dan
semakin resisten terhadap antibiotik. Berdirinya peternakan komersial ayam ras
di lingkungan pedesaan memang perlu menjadi perhatian bagi para peternak ayam
kampung. Sebagai contoh, saat ini industri peternakan broiler nasional dibuat
bingung dengan semakin kokohnya koloni sebaran Escherichia coli (APEC) yang mampu bertahan apapun jenis antibiotik
yang diberikan. Ini mengindikasikan bahwa kualitas lingkungan semakin buruk,
yang berimbas pada ekosistem dimana ayam kampung dipelihara.
Pemeliharaan
secara semi-intensif maupun intensif, dengan cara dikandangkan dan diatur pola
makannya, menjadi pilihan yang tidak boleh ditolak lagi. Kedua, pemilihan bibit
unggul juga menjadi aturan main penting untuk memperoleh produksi maksimal.
Kita bisa mengambil ternak yang ada di pasaran, lalu dikarantina dan diseleksi
keunggulannya. Karena sejujurnya masyarakat belum terlalu peduli tentang apakah
ayam kampung yang akan mereka jual tersebut berkualitas atau tidak. Ketika
membutuhkan dana sebrakan, segera saja ayam kesayangan dijual. Sehingga jika
kita cermati, banyak ayam kampung berkualitas yang beredar di pasaran. Jika
tidak diselamatkan, kasusnya akan sama dengan kondisi sapi lokal saat ini.
Harus masuk rumah pemotongan, tidak peduli masih produktif atau tidak.
Melihat
peluang pasar daging ayam kampung yang sangat terbuka, saat ini bermunculan
pembibit di daerah. Mereka menghasilkan DOC ayam kampung dengan berbagai
kelebihan dan kekurangan dalam segi kualitas produk. Beberapa pembibit rela
melakukan teknik seleksi bertahun-tahun demi mendapatkan induk dan pejantan
yang unggul, baru kemudian menjual DOC sebagai final stock yang berkualitas dan berasal dari grade murni ayam kampung. Namun, tidak sedikit pula yang mengambil
jalan pintas, yakni melakukan teknik persilangan antara final stock ayam layer (ras petelur) dengan ayam jantan kampung.
Hasilnya, diberi julukan DOC ayam kampung super. Teknik “main silang” seperti
ini dikawatirkan semakin menghilangkan potensi genetik ayam kampung asli
Indonesia. Meskipun, ada pula pembibit yang menyematkan brand ayam kampung super, benar-benar untuk DOC hasil persilangan
ayam kampung unggul (tidak ada darah ayam ras).
Regulasi
untuk Perlindungan
Peraturan
Presiden nomor 36 tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan
Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal,
menguatkan status usaha pembibitan dan budidaya ayam buras (kampung) dan
persilangannya, yang hanya dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi. Peluang berdasarkan peraturan ini semestinya menjadi kesempatan
berharga bagi pemerintah dan masyarakat, untuk bersama-sama melestarikan
keaslian ayam kampung kita, sekaligus membangun
perekonomian rakyat melalui peternakan ayam kampung. Sudah dijamin bahwa
pemodal asing tidak akan mempunyai ruang bebas untuk mengembangkan ayam
kebanggaan kita ini. Namun, perlu adanya regulasi lanjutan yang tepat dan tegas
dari pemerintah untuk mengatur keamanan genetik ayam kampung, dari tindakan
“main silang” yang dilakukan peternak. Beberapa pusat penelitian dan
pengembangan genetik hewan ternak di Indonesia, telah menghasilkan beberapa
strain ayam kampung unggul. Tentunya ini yang diharapkan dapat didiseminasikan
kepada masyarakat yang sebagian masih awam dengan dunia riset pemuliaan ternak.
Tuntutan
faktor kuantita produksi daging selalu meningkat, tetapi kita juga dihadapkan pada
isu keamanan pangan. Antibiotik sintetis dalam ransum pakan sudah dilarang di
Amerika dan Eropa. Residu dari antibiotik sintetis yang ada di daging dan
telur, mempunyai dampak merugikan bagi kesehatan konsumennya. Namun, alih-alih
berbicara mengganti antibiotik sintetis dengan bahan organik, permasalahan di
negara kita masih berkutat pada rendahnya tingkat konsumsi protein hewani,
serta rendahnya produktifitas ternak itu sendiri. Oleh karenanya, yang masih
terus digenjot pemerintah sampai saat ini adalah dua hal mendasar tersebut.
Padahal jika kita tinjau, lebih tingginya harga daging ayam kampung dibanding
ayam ras, salah satunya disebabkan karena nilai dari keamanan pangan itu
sendiri. Ayam kampung yang dipelihara di pedesaan dengan pakan alami (organik),
menghasilkan produk daging yang aman dan sehat. Secara tidak sengaja,
sebenarnya kultur kita sudah menghargai mahal arti dari sebuah keamanan pangan.
Segmen
Pasar Berkelas
Peluang
bisnis ayam kampung selalu terbuka lebar, bahkan beberapa kalangan tidak mau
mencampur aduk pangsa pasar ayam kampung dengan ayam ras. Ibarat jalan raya,
ayam kampung mempunyai jalur sendiri layaknya busway. Jumlahnya kalah jauh dari ayam ras, tetapi mempunyai segmen
pasar dan harga sendiri yang berkelas. Jika yang dilirik adalah usaha pro rakyat,
maka selayaknya usaha ayam kampung merupakan pilihan tepat. Semoga masyarakat
peternak ayam kampung menyadarinya, dan tidak lagi merendahkan martabat ayam
kampung kita, dengan cara “main silang” seperti kasus di atas, sehingga slogan
yang selama ini digaungkan, menjadi raja di negeri sendiri, dapat terpenuhi.
Awistaros A.
Sakti, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar